SEJARAH
PEMBUKUAN HADITS
1.1.
Latar Belakang
Hampir
semua orang Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis dalam berbagai disiplin
keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh, teologi, akhlaq dan lain sebagainya.
Sebab secara struktural hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah
al-Qur’an, dan secara fungsional hadis dapat berfungsi sebagai penjelas
(baya>n) terhadap ayat-ayat yang mujmal atau global. Hal itu
dikuatkan dengan berbagai pernyataan yang gamblang dalam al-Qur’an itu sendiri
yang menunjukkan pentingnya merujuk kepada hadis Nabi, misalnya Q.S>
al-Ahzab [33]: 21, 36, al-Hasyr [59]: 7.
Akan
tetapi ternyata secara historis, perjalanan hadis tidak sama dengan
perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara
resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang
waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya
dengan hadis Nabi. Jika, al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari
Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak demikian
halnya dengan Hadis Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an.
Bahkan dalam kitab kitab hadis, terdapat adanya pelarangan penulisan hadis. Hal
itu tentunya mempunyai impliksi-implikasi tersendiri bagi transformasi hadis,
terutam pada zaman Nabi.
Berita
tentang prilaku Nabi Muhammad (sabda, perbuatan, sikap ) didapat dari seorang
sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu
kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir
atau tidak menyaksikan. Kemudian berita itu disampaikan kepada murid-muridnya
yang disebut tabi’in (satu generasi dibawah sahabat) . Berita itu kemudian
disampaikan lagi ke murid-murid dari generasi selanjutnya lagi yaitu para
tabi’ut tabi’in dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadist
(mudawwin).Pada masa Sang Nabi masih hidup, Hadits belum ditulis dan berada
dalam benak atau hapalan para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi
untuk melakukan penulisan mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai
keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Diantara
sahabat tidak semua bergaulnya dengan Nabi. Ada yang sering menyertai, ada yang
beberapa kali saja bertemu Nabi. Oleh sebab itu Al Hadits yang dimiliki sahabat
itu tidak selalu sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya.
Namun demikian diantara para sahabat itu sering bertukar berita (Hadist)
sehingga prilaku Nabi Muhammad banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan
sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad masih
hidup.Dengan demikian pelaksanaan Al Hadist dikalangan umat Islam saat itu
selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karenanya para sahabat tidak mudah berbuat
kesalahan yang berlarut-larut. Al Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat
Islam dimasa Nabi Muhammad hidup ini oleh ahli Hadist disebut sebagai Sunnah
Muttaba’ah Ma’rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran Al Hadist.
2.1
Transformasi Hadis Dari rasulullah Kepada Sahabat
Sejarah
hadsis memulai periodisasi sejarah perkembangan hadis pada saat awal kenabian
itu juga, walaupun informasi yang dimuat adalah informasi-informasi
sebelumnya. Sehingga yang dimaksud dengan masa Nabi adalah masa diturunkannya
al-Qur’an dari Allah SWT dan masa disampaikannya hadis oleh Nabi SAW.
Bagaimana
suasana keilmuan di awal Islam, mungkin inilah pijakan pertama yang harus
dilihat untuk mengetahui perjalanan hadis pada masa Nabi. Sejarah menginformasikan
bahwa pada awal Islam tersebut sudah ada kebiasaan tulis menulis. Hal ini
ditunjukkan oleh adanya penulisan wahyu dan berbagai bentuk tulis menulis untuk
keperluan administrasi negara. Setelah hijrah serta kondisi negara sudah stabil
terbukalah orientasi umat Islam untuk mempelajari al-Qur’an dan ilmu
pengetahuan lainnya, melalui tradisi membaca dan menulis. Bahkan perang Badar
mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan kemampuan baca tulis saat
itu, karena para tawanan perang akan mendapatkan kebebasan dari Nabi, bila mau
mengajar sepuluh anak Madinah untuk membaca dan menulis.
Kemudian
berkembanglah kajian-kajian ilmu dan menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam.
Ini dibuktikan dengan ditemukannya berbagai tempat-tempat pertemuan dan tempat
kajian yang muncul di akhir abad pertama, yang menunjukkan akan adanya
kebangkitan ilmiah. Perkembangan ilmiah tersebut bersamaan dengan
usaha-usaha Nabi SAW dalam menyebarkan sunnah, diantaranya dengan cara:
- Mendirikan sekolah di Madinah
segera setelah kedatangannya di sana dan setelah itu mengirimkan guru dan
khatib ke berbagai wilayah luar Madinah.
- Ø Memberikan perintah misalnya,
“Sampaikanlah pengetahuan dariku walaupun hanya satu ayat”. Tekanan yang
sama dapat dilihat dalam pidatonya dalam haji Wada’, “Yang hadir di sini
hendaklah menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir”.
Di
samping itu, Rasulullah juga menyuruh kepada delegasi yang datang ke
Madinah untuk mengajari kaumnya setelah kembali ke daerahnya. Selain itu,
beliau juga memberikan rangsangan kepada pengajar dan penuntut ilmu misalnya:
ganjaran untuk penuntut ilmu dan pengajar serta ancaman pada orang yang menolak
terlibat dalam proses pendidikan.
Dari
data historis ini dapat dilihat bahwa pada awal Islam memang kemampuan baca
tulis umat Islam masih rendah. Oleh karenanya hal ini juga menjadi fokus
perjuangan Nabi SAW untuk mencerdaskan kehidupan umatnya. Dan berkat
upaya-upaya yang dirintis oleh beliau, pada periode-periode berikutnya umat
Islam memperoleh kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini tentu saja sedikit
banyak juga mempunyai implikasi terhadap perjalanan transformasi hadis pada
masa itu, yaitu bagaimana mereka melestarikan ajaran-ajaran Nabi SAW yang
notabenya merupakan tafsir praktis terhadap al-Qur’an, melalui seluruh
aspek kehidupannya.
Di
samping itu, Rasul Ja’fariyan dalam penelitiannya menemukan bahwa tradisi
penulisan hadis di kalangan Syi’ah mendahului fatwa tentang penulisan hadis
yang diberikan oleh para Imam belakangan kepada para sahabat mereka. Penulisan
hadis merupakan tradisi yang telah dimulai pada masa Nabi dan dikokohkan oleh
Ali. Misalnya, Muhammad Ibn Muslim, seorang sahabat Imam al-Baqir,
berkata: “Abu Ja’far membacakan kepada saya “Kitab al-Fara’id} yang didektekan
oleh Nabi, dan ditulis oleh Ali ra.
Namun
demikian, hal ini tidak berarti hadis Nabi telah terhimpun secara
keseluruhan dalam catatan para sahabat tersebut. Karena hadis tidak dilakukan
pencatatan (secara resmi) sebagaimana al-Qur’an, sehingga sahabat sebagai
individu tidak mungkin mampu menjadi wakil dalam merekam seluruh aspek
kehidupan Nabi SAW. Dengan kata lain, oleh karena hadis itu meliputi segala
ucapan, tindakan, pembiaran (taqrir), keadaan, kebiasaan dan hal ihwal Nabi
Muhammad. maka yang demikian ini tidak selalu terjadi di hadapan orang
banyak.
Dari
keterangan di atas tampak bahwa tradisi penulisan hadis sebenarnya sudah ada
sejak masa Nabi saw. Namun ada kemungkinan bahwa sebagian hadis yang belum
tercatat saat itu, dan baru dicatat masa sesudahnya lewat hafalan-hafalan
penghafal hadis. Bahkan ada kemungkinan juga ada aspek-aspek kehidupan Nabi
yang tidak bisa direkam sampai saat ini. Dengan demikian fase ini merupakan
fase dimana penulisan hadis belum menjadi praktek yang merata.
Hadis
pada masa Nabi memang belum diupayakan penghimpunannya dan tidak ditulis secara
resmi sebagaimana al-Qur’an pada masa Nabi SAW. Hal ini tentu ada sebab-sebab
yang melatarbelakannginya. Paling tidak ada beberapa faktor mengapa hadis Nabi
waktu itu tidak secara resmi ditulis, Pertama, masa itu tradisi keilmuan
(baca tulis) belum menjadi praktek yang merata dan masih dalam tahap diupayakan
perkembangannya.
Lalu
bagaimana bentuk transformasi hadis pada zaman Nabi ? Syuhudi Ismail
dalam bukunya Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, menyimpulkan bahwa bentuk transformasi
hadis antara lain melalui
ü
lisan di muka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki
ü
pengajian rutin di kalangan laki-laki
ü
pengajian khusus yang diadakan di kalangan kaum perempuan, setelah mereka
memintanya dan lain sebagainya .
Hadis
Pada Masa Rasulullah SAW
Hadis
atau sunah adalah sumber hukum Islam yang kedua yang merupakan landasan dan
pedoman dalam kehidupan umat Islam setelah Al Qur’an, Karena itu perhatian
kepada hadis yang diterima dari Muhammad SAW dilakukan dengan cara memahami dan
menyampaikannya kepada orang yang belum mengetahuinya. Perhatian semacam ini
sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup. Namun pada saat itu para perawi
hadis sangat berhati-hati dalam menerima maupun meriwayatkan hadis dan menjaga
kemurniannya. Pada zaman Rasulullah para sahabatlah yang meriwayatkan hadis
yang pertama. Para sahabat adalah penerima hadis langsung dari Muhammad SAW
baik yang sifatnya pelajaran maupun jawaban atas masalah yang dihadapi. Pada
masa ini para sahabat umumnya tidak melakukan penulisan terhadap hadis yang
diterima. Kalaupun ada, jumlahnya sangat tidak berarti. Hal ini di sebabkan
antara lain;
a.
Khawatir tulisan hadis itu bercampur dengan tulisan .Al-Qur’un.
b.
Menghindarkan umat menyandarkan ajaran Islam kepada hadis saja.
c.
Khawatir dalam meriwayatkan hadis salah, dan tidak sesuai dengan yang
disampaikan
Nabi
Muhammad SAW.
Meskipun
demikian, hadits Nabi saw tetap dihafal dan diriwayatkan oleh para Shahabat ra
, karena Nabi saw bersabda
:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“Semoga Alloh menjadikan putih cemerlang seseorang yang mendengar sebuah hadits dari kami, kemudian menghafalkan dan menyampaikannya karena mungkin saja terjadi orang membawa ilmu kepada orang yang lebih faham darinya, dan mungkin terjadi orang yang membawa ilmu tidak faham tentang ilmunya itu.( HSR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, danAl-Hakim )
Hadis pada masa Khutafaur Rasyidin
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“Semoga Alloh menjadikan putih cemerlang seseorang yang mendengar sebuah hadits dari kami, kemudian menghafalkan dan menyampaikannya karena mungkin saja terjadi orang membawa ilmu kepada orang yang lebih faham darinya, dan mungkin terjadi orang yang membawa ilmu tidak faham tentang ilmunya itu.( HSR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, danAl-Hakim )
Hadis pada masa Khutafaur Rasyidin
Setelah
Rasulullah SAW wafat para sahabat mulai menebarkan hadis kepada kaum muslimin
melalui tabligh.Nabi Muhammad SAW bersadba; yang Artinya;
Sampaikanlah
dari padaku, walaupun hanya satu ayat.’
Di
samping itu Rasulullah berpesan kepada para sahabat agar berhati-hati dan
memeriksa suatu kebenaran hadis yang hendak disampaikan kepada kaum muslimin.
Ketika itu para sahabat tidak lagi berdiam hanya di Madinah. Tetapi meyebar ke
kota-kota lain. Pada masa Abu Bakar dan Umar, hadis belum meluas kepada
masyarakat. Karena para sahabat lebih mengutamakan mengembangkan A1 Qur’an
Ada
dua cara meriwayatkan hadis pada masa sahabat:
a.
Dengan lafal aslinya, sesuai dengan yang dilafalkan oleh Nabi Muhammad SAW.
b.
Dengan maknanya, bukan lafalnya karena mereka tidak hafal lafalnya.
Cara
yang kedua ini rnenimbulkan bermacam-macam lafal (matan), tetapi maksud dan
isinya tetap sama. Hal ini mmbuka kesempatan kepada sahabat-sahabat yang dekat
dengan Rasulullah SAW untuk mengembangkan hadis, walaupun mereka tersebar ke
kota-kota lain.
Masa
pembukuan hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz
Ide
pembukuan hadis pertama-tama dicetuskan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz pada
awal abad ke 2 hijriyah. Sebagai Khalifah pada masa itu beliau memandang perlu
untuk membukukan hadis. Karena ia meyadari bahwa para perawi hadis makin lama
semakin banyak yang meninggal. Apabil hadis-hadis tersebut tidak dibukukan maka
di khawatirkan akan lenyap dari permukaan bumi. Di samping itu, timbulnya
berbagai golongan yang bertikai daIam persoalan kekhalifahan menyebabkan adanya
kelompok yang membuat hadis palsu untuk memperkuat pendapatnya. Sebagai penulis
hadis yang pertama dan terkenal pada saat itu ialah Abu Bakar Muhammad ibnu
MusIimin Ibnu Syihab Az Zuhry.
Pentingnya
pembukuan hadis tersebut mengundang para ulama untuk ikut serta berperan dalam
meneliti dan menyeleksi dengan cermatl kebenaran hadis-hadis. Dan penulisan
hadis pada abad II H ini belum ada pemisahan antara hadis Nabi dengan ucapan
sahabat maupun fatwa ulama. Kitab yang terkenal pada masa itu ialalah Al
Muwatta karya imam Malik.
Pada
abad III H, penulisan dilakukan dengan mulai memisahkan antara hadis, ucapan
rnaupun fatwa bahkan ada pula yang memisahkan antara hadis shahih dan bukan
shahih. Pada abad IV H, yang merupakan akhir penulisan hadis, kebanyakan bukti
hadis itu hanya merupakan penjelasan ringkas dan pengelompokan hadis-hadis
sebelumnya.
Sejarah
Penulisan Hadits
Hadits
Nabi saw memang belum ditulis secara umum pada zaman Nabi saw masih hidup,
karena ketika itu Al-Qur’an masih dalam proses diturunkan dan diurutkan. Bahkan
Nabi saw melarang masyarakat umum dari menulis hadits, sebagaimana sabdanya :
لا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَ حَدِّثُوْا عَنِّيْ وَ لا حَرَجَ
لا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَ حَدِّثُوْا عَنِّيْ وَ لا حَرَجَ
وَ
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah dia menghapusnya, dan beritakanlah hadits dariku, yang demikian tidak berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari api neraka.” ( HR. Muslim )
“Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah dia menghapusnya, dan beritakanlah hadits dariku, yang demikian tidak berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari api neraka.” ( HR. Muslim )
Walaupun
demikian, Nabi saw memberikan izin kepada orang-orang tertentu untuk menulis
hadits yang diyakini tidak akan terjadi tercampurnya tulisan Al-Qur’an dengan
tulisan hadits pada mereka. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat :
فَقَامَ أَبُو شَاهٍ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ : اكْتُبُوْا لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَقَامَ أَبُو شَاهٍ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ : اكْتُبُوْا لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اكْتُبُوْا لأَبِيْ شَاهٍ
“Berdirilah Abu Syah, yakni seorang laki-laki dari penduduk Yaman, dia berkata : “Tuliskan untukku, wahai Rosullulloh !” Maka Rosululloh saw bersabda : “Tuliskan untuk Abu Syah !” ( HR. Al-Bukhori dan Abu Dawud )
“Berdirilah Abu Syah, yakni seorang laki-laki dari penduduk Yaman, dia berkata : “Tuliskan untukku, wahai Rosullulloh !” Maka Rosululloh saw bersabda : “Tuliskan untuk Abu Syah !” ( HR. Al-Bukhori dan Abu Dawud )
Demikianlah
usaha penulisan hadis pada masa khaIifah Umar bin Abdui Aziz yang selanjutnya
disempurnakan oleh utama dari masa dan ke masa dan mencapai puncaknya pada
akhir abad IV H.
Masa
penggalian hadis
Setelah
Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah
mengenai Al Hadits karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan
menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang
memerlukan pemecahan, baik mengenai Al Hadist ataupun Al Quran. Dan diantara
mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.
Sejak
Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 – 23 H atau 634 – 644 M) wilayah
dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka
mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga
makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para
sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun
kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para
sahabat makin saling bertemu bertukar Al Hadist.
Kemudian
para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari
sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu
menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi’in. Meski
memerlukan perjalanan jauh tidak segan-segan para tabi’in ini berusaha menemui
seorang sahabat yang memiliki Al Hadist yang sangat diperlukannya. Maka para
tabi’in mulai banyak memiliki Al Hadist yang diterima atau digalinya dari
sumbernya yaitu para sahabat. Meski begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa
itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.
Masa
penghimpunan al hadis
Musibah
besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Musibah itu berupa permusuhan diantara sebagian umat Islam yang meminta korban
jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya
memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari’at dan
Aqidah dengan membuat Al Hadist Maudlu’ (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak
tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan /
perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin
memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit
yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan
tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.
Keadaan
menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin
Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup
dan terutama para tabi’in mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap
tidak mau lagi menerima Al Hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka
miliki. Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi’in ini sangat berhat-hati
sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber
dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang
melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu.
Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita Al Hadist. Misal
apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur,
benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya.
Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para
tabi’ut tabi’in.
Umar
bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 – 101 H / 717 – 720
M) termasuk angkatan tabi’in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan
Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist dari
para tabi’in yang terkenal memiliki banyak Al Hadist. Seorang tabi’in yang
terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin
Syihab Az Zuhri (tahun 51 – 124 H / 671 – 742 M) diperintahkan untuk
melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu beliau Az Zuhri menggunakan semboyannya
yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a
maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad
maka berkatalah siapa saja tentang apa saja)
2.2
Masa pendiwanan dan penyusunan al hadis
Usaha
pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku Al Hadits disebut
pendiwan) dan penyusunan Al Hadits dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah
utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan Al Hadits. Pengelompokan
dilakukan dengan memisahkan mana Al Hadits yang marfu’, mauquf dan maqtu’.
Al Hadits marfu’ ialah Al Hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, Al
Hadits mauquf ialah Al Hadits yang berisi perilaku sahabat dan Al
Hadits maqthu’ ialah Al Hadits yang berisi perilaku tabi’in.
Pengelompokan tersebut diantaranya dilakukan oleh :
ü
Ahmad bin Hambal
ü
‘Abdullan bin Musa Al ‘Abasi Al Kufi
ü
Musaddad Al Bashri
ü
Nu’am bin Hammad Al Khuza’i
ü
‘Utsman bin Abi Syu’bah
Yang
paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya
adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal
(164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 Al Hadits,
10.000 diantaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir ini
tetap sebanyak yang disusun Ahmad sendiri maka tidak ada hadist yang mardud
(tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad
sendiri yang bernama ‘Abdullah dan Abu Bakr Qathi’i sehingga tidak sedikit
termuat dengan yang dla’if dan 4 hadist maudlu’.
Adapun
pendiwanan Al Hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan
rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori usaha ini adalah :
Ia
adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An
Nasai.Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga ditingkatkan oleh Bukhari,
kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya
meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan kitab Al Hadits terwujud dalam
kitab Al Jami’ush Shahih Bukhari, Al Jamush Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah
dan seterusnya sebagaimana terdapat dalamdaftar kitab masa abad 3 hijriyah.
Yang
perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya
untuk memisahkan Al Hadits yang shahih dari Al Hadits yang tidak
shahih sehingga tersusun 3 macam Al Hadits, yaitu :
- Kitab Shahih – (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) – berisi Al Hadits yang shahih saja
- Kitab Sunan – (Ibnu Majah, Abu
Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) – menurut sebagian ulama selain
Sunan Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dla’if yang tidak
munkar.
- Kitab Musnad – (Abu Ya’la, Al
Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) – berisi
berbagai macam Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu
hanya berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan perbandingan.
Apa
yang telah dilakukan oleh para ahli Al Hadits abad 3 Hijriyah tidak banyak yang
mengeluarkan atau menggali Al Hadits dari sumbernya seperti halnya ahli Al
Hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli Al Hadits abad 3 umumnya
melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas Al Hadits yang
telah ada disamping juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa abad 4 hijriyah
dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan Al Hadist. Sedangkan abad
5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al
Hadits,menghimpun yang terserakan dan memudahkan mempelajarinya
2.3
Kritik Tentang sejarah Pembukuan Hadits
Demikian
salah satu hadis yang menyatakan pelarangan penulisan hadis. Apabila ditinjau
dari hadis ini, maka dapat diprediksikan bagaimana implikasinya terhadap
penulisan dan pembukuan hadis. Ulama kontemporer seperti Muhammad Syharur,
misalnya memaknai larangan hadis tersebut sebagai suatu isyarat
bahwa hadis itu sebenarnya hanyalah merupakan ijtihad Nabi yang
syarat dengan situasi sosio-kultural dimana Nabi hidup. Hadis Nabi lebih
merupakan marhalah ta>ri>khiyah, dimana Nabi sangat dipengaruhi oleh
situasi sosio-budaya Arab waktu itu, sehingga tidak terlalu penting untuk
dibukukan.
Namun
demikian, disamping ada hadis yang melarang menulisan hadis sebagaimana dikutip
di atas, dalam bagian yang lain ada juga hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan
menulis hadis. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Hurairah
yang artinya sebagai berikut:
Terhadap
dua riwayat yang tampak saling bertentangan tersebut, para ulama berbeda
pendapat dalam memahaminya. Sebagian menganggap bahwa larangan itu mutlak,
tetapi sebagian ulama yang lain berusaha mengkompromikannya dengan
mengembalikan persoalan tersebut kepada empat pendapat:
- Sebagian ulama menganggap bahwa
hadis Abi Said Al-Hudri tersebut Mauquf, maka tidak patut untuk dijadikan
alasan, untuk melarang penulisan hadis
- Larangan penulisan hadis
berlaku hanya pada masa awal-awal Islam, karena dikhawatirkan
bercampur dengan al-Qur’an.
- Dengan adanya larangan
penulisan hadis tersebut pada hakekatnya Nabi mempercayai kemampuan para
sahabat untuk menghafalkannya, dan Nabi khawatir seseorang akan bergantung
pada tulisan, sedang pemberian izin Nabi untuk menulis
hadisnya, pada hakekatnya merupakan isyarat bahwa Nabi tidak
percaya kepada orang seperti Abi Syah, dapat menghafalkannya dengan
baik.
- Larangan itu bersifat
umum, tetapi secara khusus diizinkan kepada orang-orang yang bisa baca
tulis dengan baik, tidak salah dalam tulisannya, seperti pada Abdullah bin
Umar.
Meskipun
para ulama mempunyai perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya penulisan hadis
ini, namun nyatanya para sahabat tetap memelihara dan melestarikan hadis Nabi.
Hal ini dibuktikan dengan adanya hadis Nabi yang mengatakan: “Riwayatkanlah
dari saya. Barang siapa sengaja berbohong atas nama saya maka tempatnya di
neraka”. Sehingga apabila menulis hadis menjadi praktek yang dilarang, maka
untuk mengantisipasi terjadinya ketidakotentikan hadis ini Nabi juga memberikan
peringatan atau ancaman neraka tersebut
3.1.
Kesimpulan
Walaupun
diakui hafalan merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam
pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan, dan konon orang-orang Arab terkenal
mempunyai kekuatan hafalan yang tinggi, bahkan para penghafal masih
banyak yang beranggapan bahwa penulisan hadis tidak diperkenankan, namun
ternyata tradisi penulisan hadis sudah dilakukan sejak zaman Nabi.
Tradisi
tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua hadis
Nabi sudah dibukukan sejak zaman Nabi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari
tidak dibukukannya hadis secara resmi saat itu, sedang sahabat yang menulis
hadis itu lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri. Padahal koordinasi
antara sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi tidak ditemukan
tanda-tandanya.
Nabi
SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan
berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa
tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau.
Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, di kala
beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab.
Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam
safar dan di dalam hadlar.
Seluruh
perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan
perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman
hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat
memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu
meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-apa yang
diperintahkan Nabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar